Negara
Indonesia merupakan negara kepulauan, dengan 17.504 pulan dan panjang garis
pantai 95.181 km. Penduduk Indonesia 60% tinggal di pesisir. Pusat perkembangan
ekonomipun berada di wilayah pesisir. Namun, pendidikan dan kesejahteraan
penduduk pesisir masih sangat rendah. Sehingga pengelolaan potensi wilayah
pesisir masih sangat rendah.
Kewajiban
Negara Indonesia seperti yang tertera dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia
dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Kewajiban tersebut dilakukan dengan penguasaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara, termasuk
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil yang berorientasi pada eksplorasi sumber daya pesisir tanpa
memperhatikan kelestarian sumber daya pesisir serta mengabaikan hak masyarakat lokal/adat. Pengelolaan tersebut menunjukankan kurang
terintegrasinya prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil secara
berkelanjutan, terpadu dan berbasis masyarakat. Oleh sebab itu, penyusunan Undang-Undang
Nomor 27 tahun 2007 untuk membangun sinergi antar lembaga Pemerintah pusat
maupun daerah terkait pengelolaan wilayah pesisir serta memberikan
kepastian dan perlindungan hukum.
UU No. 27 tahun 2007 tersebut diharapkan dapat memperbaiki
tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan
peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta
masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha.
Adanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sangat strategis
untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil serta meningkatkan kesejahteraan Masyarakat yang tinggal di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, pelaksanaan undang-undang tersebut masih belum
optimal sehingga diperlukan perubahan Undang-Undang Nomor
27 tahun 2007. Perubahan
Undang-Undang tersebut dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014.
Adapun
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yang diubah pada Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2014, yaitu :
- Perubahan ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 17, angka 18, angka 19, angka 23, angka 26, angka 28, angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka 33, angka 38, dan angka 44, dan penambahan angka 18A diantara angka 18 dan angka 19, serta penambahan angka 27A diantara angka 27 dan angka 28.
- Pengubahan ketentuan pasal 14 ayat (1) dan ayat (7)
- Perubahan judul BAB V
Bagian Kesatu
Hak Pengusahaan Perairan pesisir
Menjadi
:
Bagian Kesatu
Izin
- Perubahan ketentuan Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, dan 22.
- Penambahan pasal 22A, 22B, dan 22C diantara pasal 22 dan 23
- Perubahan ketentuan pasal 23.
- Penambahan pasal 26A diantara pasal 26 dan 27.
- Perubahan ketentuan pasal 30, 50, 51, dan 60.
- Perubahan ketentuan pasal 71 dan 75
- Penambahan pasal 75A diantara pasal 75 dan 76.
- Penambahan pasal 78A dan 78B diantara pasal 78 dan 79.
Salah
satu point penting yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yaitu
tentang pengganti HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir). Dalam Undang-Undang
tersebut pada pasal 1 ayat 18 menyatakan bahwa “Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak
atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautandan
perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai
dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu”. Pada pasal 20
ayat 1 menjelaskan bahwa hak tersebut dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan
jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan.
Sifat HP-3 tersebut dapat disalah
gunakan dengan menjual belikan hak tersebut untuk mendapatkan keuntungan
pribadi. Sehingga pemilik hak melalaikan tanggung jawabnya untuk mengelola
wilayah pesisir. Pemberian hak
tersebut kepada subjek hukum baik individu maupun badan hukum, maka akan
terjadi eksploitasi pada wilayah pesisir.
Akibatnya, masyarakat adat yang berhak atas pengelolaan wilayah pesisir tersbut
akan tergusur. Walaupun dalam Undang-Undang tersebut mengatakan bahwa
masyarakat adat dapat memperoleh HP-3. Namun, masyarakat adat tidak dapat dan
tidak mampu bersaing dengan badan hukum atau pemilik modal yang lainnya.
Sehingga masyarakat pesisir akan kehilangan hak untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya.
Pengelolaan
wilayah pesisir seharusnya
memegang teguh pada prinsip di kuasai oleh negara dan sebesar-besarnya
digunakan untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Penyusunan Undang-Undang Nomor 1
tahun 2014 sebagai perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yang
salah satunya mengenai penggantian HP-3 menjadi izin lokasi dan izin
pengelolaan. Perubahan
tersebut diharapkan terjalin kerjasama yang sinergis dari
berbagai pihak baik masnyakat, badan hukum dan pemerintah untuk mengelola
wilayah pesisir yang berkelanjutan dan terpadu yang digunakan untuk kemakmuran
rakyat. J
0 komentar:
Posting Komentar