REVIEW JURNAL BATAS
MARITIM
“Keamanan Maritim Laut Cina Selatan
: Tantangan dan Harapan”
Judul : Keamanan Maritim Laut Cina Selatan :
Tantangan dan Harapan
Penulis : Dadang Sobar Wirasuta
Tahun Publikasi
: 2013
Sumber :
Jurnal ini membahas mengenai konflik Laut Cina
Selatan yang memberikan implikasi munculnya masalah yang berkaitan dengan
keamana maritim, kriminalitas terorganisasi lintas negara, bencana alam,
kemanan energi, keamanan air, dan ketahanan pangan. Oleh karena itu, perlu
kerja sama maritim regional antara ASEAN, Amerika Serikat, Australia, dan
Republik Rakyat Cina untuk menjaga keamanan regional di Laut Cina Selatan.
Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang
memiliki potensi yang sangat besar. Kawasan ini memiliki aspek strategis yang
mempengaruhi langsung maupun tidak langsung terhadap kawasan dan negara
lainnya. Secara geografis, Laut Cina Selatan merupakan salah satu jalur
perdagangan yang menghubungkan Samudra India dan samudra Pasifik. Wilayah yang
strategis dan potensi sumber daya alam yang besar merupakan faktor atau alasan
yang menyebabkan Laut Cina Selatan menjadi sengketa.
Wilayah
Laut Cina Selatan terdiri dari beberapa pulau kecil yang tersebar luas. Pulau
yang banyak terjadi tumpang tindih klaim beberapa negara yaitu pulau Paracel
dan Spartly. Saling klaim antar negara yang berbatasan maritim dengan Laut Cina
Selatan yaitu Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brune. Pihak yang
bersengketa memiliki argumentasi masing-masing untuk memperkuat klaim kepemilikan
atas kawasan yang disengketakan menurut versinya masing-masing seperti berikut
:
-
Cina beranggapan bahwa Laut Cina Selatan
masuk kedalam wilayah kedaulatannya. Cina berpedoman pada latar belakang
sejarah kuno yang mengatakan bahwa Kepulauan Spratly dan Paracel ditemukan oleh
seorang petualang Cina pada masa Dinasti Song. Oleh karena itu, pemerintah Cina
menraik garis klaim yang masuk dalam wilayahnya, termasuk Kepulauan Spratly dan
Paracel. Garis batas tersebut berbentuk ‘U’ yang sering disebut dengan “Nine Doted Line”. Hal tersebut jelas
mendapat tantangan dari negara-negara yang juga mengklaim Kepulauan Spratly dan
Paracel, seperti Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan, dan Brunei. Dilihat dari
segi hukum Internasional, garis klaim cina “ Nine Doted Line” bertentangan dengan ketentuan UNCLOS 1982. Protes
terhadap Cina tentang garis batas tersebut tidak hanya datang dari negara yang
mengklaim Kepulauan Spratly dan Paracel, seperti Indonesia yang melakukan
protes karena garis tersebut masuk dalam wilayah ZEE dan landas kontinen RI di
wilayah Kepulauan Natuna.
-
Filipina mengklaim Spartly ketika
seorang nelayan Filipina menemukan beberapa pulau disekitar Filipina. Pulau
tersebut diberi nama Freedom Land atau
pulau Kalayan. Filipina menganggap Pulau Kayalan dan beberapa pulau disekitar
wilayah yang tak dimiliki oleh siapapun. Tahun 1978, presiden Filipina
mendatangani sebuah dekrit yang berisi pengakuan atas gugusan Kepulauan
Kalayan.
-
Vietnam mengklaim kepulauan Spratly dan
Paracel berdasarkan sejarah. Pada abad ke-15, masyarakat Vietnam telah
melakukan kegiatan ekonomi di kedua pulau tersebut dibawah kekuasaan kaisar
Thanh Tong. Selain itu, berdasarkan ensiklopedia kuno berisi tentang pejelasan secara
rinci tentang wilayah kedaulatan Vietnam dan pulau Paracel yang disebut Bau Cat
Vang (Partai Pasir Emas) dan juga menjelaskan letaknya Pulau Paracel secara
lebih detail dengan kisaran luasnya.
Selain fakta sejarah, dipulau Paracel juga terdapat bangunan yang
dibangun oleh kaisar Minh Mang tahun 1833.
-
Klaim Malaysia berdasarkan prinsip
landas kontinen. Keseriusan Malaysia dalam mengklaim Kepulauan Spratly ditandai
dengan survei perairan di sekitar pulau Amboya Cay. Tanda keseriusan itu untuk
mengekplorasi dan mengekploitasi sumber daya alam dikawasan tersebut.
-
Brunei tidak mengklaim pulau-pulau,
tetapi mengklaim Lousia Reef salah satu pulau karang di Selatan Spratly sebagai
bagian dari landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Aspek
letak geografis dan potensi sumber daya alam yang melimpah merupakan faktor
penting terjadinya sengketa dan konflik antar negara di sekitar Laut Cina
Selatan. Beberapa upaya perdamaian sudah dilakukan, seperti dibuatnya DOC
(Declaration On The Conduct of Parties in The SouthChina Sea) antara ASEAN dan
Cina pada 4 November 2002 untuk menyelesaikan sengketa tanpa ancaman atau
penggunaan senjata. November 2012 dibentuk working group untuk membahas kode
etik (Code of Conduct) yang disebut 1st WG ASEAN SOM or COC. Perjanjian
bilateral antara Cina dan Vietnam pada oktober 2011 tentang Principles for
Resolving Maritime Issues, serta upaya-upaya lain melalui pendekatan bilateral.
Konflik
Laut Cina Selatan sangat rumit dan kompleks. Kompleksitas sengketa melibatkan
banyak negara dan banyak kepentingan sengketa dari berbagai arah, karena adanya
tumpang tindih klaim masing-masing negara dalam satu kawasan yang sama
menyulitkan solusi tunggal misalnya pada titik yang sama,
Cina-Vietnam-Malaysia, masing-masing negara berhadapan satu sama lain. Sengketa
Laut Cina Selatan menjadi suatu masalah, dilema dan tantangan yang berkaitan
dengan keamanan perdamaian internasional, keadilan, kebebasan, tatanan,
keamanan maritim dan pembangunan progresif dapat di klarifikasikan ke dalam
diplomasi militer, keamanan maritim, strategis militer dan sosio ekonomi.
Kawasan
maritim dan globalisasi mempunyai korelasi langsung yang dihadapkan pada
kelancaran arus barang dan jasa serta didukung oleh arus informasi yang sangat
menuntut terjaminnya keamanan maritime.Sebab lebih dari 95 persen arus
perdagangan dunia menggunakan domain maritim, sehingga setiap stake holders
kepentingan maritim, baik aktor negara maupun non negara dituntut untuk
mengembangkan Maritime Domain
Awareness (MDA) guna menjamin keamanan maritim.
Awareness (MDA) guna menjamin keamanan maritim.
Menghadapi
tantangan keamanan maritim di kawasan Asia Pasifik, Indonesia mempunyai posisi
utama untuk menjadi penyeimbang diantara kekuatan-kekuatan besar yang bersaing
di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Indonesia perlu pembangunan kekuatan
maritim dengan membentuk dua armada baru untuk
mendukung dua armada yang sudah ada, Armabar dan Armatim. Sebagai ilustrasi,
maka armada pertama adalah Armada Selatan yang berkonsentrasi pada pembangunan
kemampuan pertahanan laut dan udara sepanjang sesi ZEE Selatan Indonesia di
kawasan Samudra Hindia. Sementara Armada kedua adalah Armada Utara yang harus
mampu berkonsentrasi pada pembangunan kekuatan laut dan udara sepanjang sesi
ZEE Utara yakni kawasan Samudra Pasifik.
Untuk menghadapi tantangan keamanan
maritim yang berkembang di Laut Cina Selatan, kerangka ASEAN adalah solusi
masalah lewat jalur politik dan diplomatik, karena komitmen ASEAN yaitu ingin
menghasilkan pedoman yang mengikat negara yang saling mengklaim wilayah di Laut
Cina Selatan agar semua masalah bisa dikelola dengan baik dan tidak memunculkan
masalah yang tidak dikehendaki. Selain itu, sangat diperlukan kerja
sama TNI AL dengan Angkatan Laut negara-negara ASEAN, semata-mata demi
menciptakan hubungan antar negara tetangga yang stabil dan seimbang untuk
menciptakan kondisi yang kondusif di Laut Cina Selatan dan kawasan Asia
Pasifik, serta tidak bertujuan membentuk aliansi kekuatan. Untuk kepentingan
bersama, Regional Maritime
Partnership dan kerjasama multilateral Angkatan Laut ASEAN diharapkan dapat
menjadi stabilitas keamanan kawasan Laut Cina Selatan.
0 komentar:
Posting Komentar