Pages

Labels

Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, D.I. Yogyakarta, Indonesia
Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 25 Februari 2015

Wilayah Maritim Indonesia

Wilayah Maritim Nusantara
Indonesia merupakan negara kepulauan terdiri dari gugusan pulau dengan wilayah laut 2/3 luas wilayah seluruh negara. Pengakuan wilayah laut Indonesia memiliki dinamika yang panjang dari mulai zaman kemerdekaan sampai terbentuknya hukum laut Internasional. Awal kemerdekaan kekuasaan Indonesia sangat sempit yaitu  berdasarkan keputusan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie (TZMKO), wilayah laut Indonesia, hanya 3 mil dari garis batas pantai pulau. Hal ini memberikan sebuah konsekuensi, setiap pulau di Indonesia yang memiliki jarak laut diatas 6 mill akan terpisah oleh laut internasional yang dapat bebas di lewati oleh semua Negara.


Gambar 1. Peta Batas Wilayah Indonesia Berdasarkan TZMKO 1939 sebelum Deklarasi Djoeanda
(Dept. Kelautan dan Perikanan, 2008)

 Ironi tersebut membuat PM Djoenda memperjuangkan tentang kekuasaan laut Indonesia menjadi suatu Negara yang utuh, yang tertuang dalam Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957 yaitu :
  1.          Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
  2.          Bahwa sejak dahulu kala kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
  3.         Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan:

a.    Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat;
b.    Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan;
c.     Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.


Gambar 2. Peta Batas Wilayah Indonesia Setelah Deklarasi Djoeanda
(Dept. Kelautan dan Perikanan, 2008)

Deklarasi juanda tersebut mendapat protes keras dari Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda, dan New Zealand, tetapi mendapat dukungan dari Uni Soviet (waktu itu), dan Republik Rakyat Cina, Filipina, Ekuador. Pemerintah Indonesia terus melanjutkan kebijakan tersebut dengan membuat suatu perundangan yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 dengan isi sebagai berikut :
  1. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah, dan kesatuan ekonominya ditarik garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari kepulauan terluar.
  2. Termasuk dasar laut dan tanah bawahnya maupun ruang udara di atasnya dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
  3. Jalur laut wilayah laut territorial selebar 12 mil diukur dari garis-garis lurusnya.
  4. Hak lintas damai kapal asing melalui perairan nusantara (archipelagic waters).
Setelah melalui proses panjang dalam dari tahun 1973-1982 pada Konferensi ketiga (UNCLOS III) atau dikenal sebagai Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the sea) akhirnya konsep wawasan nusantara menjadi negara kepulauan diterima oleh internasional. Perairan laut Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional di Jamaika tahun 1982 dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
  1. Batas laut teritorial yaitu 12 mil dari titik terluar sebuah pulau ke laut bebas. Berdasarkan batas tersebut, negara Indonesia memiliki kedaulatan atas air, bawah laut, dasar laut, dan udara di sekitarnya termasuk kekayaan alam di dalamnya.
  2. Batas landas kontinen sebuah negara paling jauh 200 mil dari garis dasar ke laut bebas dengan kedalaman tidak lebih dari 200 meter. Ladas kontinen adalah dasar laut dari arah pantai ke tengah laut dengan kedalaman tidak lebih dari 200 meter.
  3. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ditarik dari titik terluar pantai sebuah pulau sejauh 200 mil. Dengan bertambahnya luas perairan Indonesia, maka kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bertambah pula. Oleh karena itu Indonesia bertanggung jawab untuk melestarikan dan melindungi sumberdaya alam dari kerusakan.



Gambar 3. Peta Batas Wilayah Indonesia Setelah UNCLOS III
(Bahan Ajar Pengelolaan Wilayah Pesisir)

            Berbicara tentang kekuasaan dan kekuatan maritim Indonesia, Indonesia memilki suatu sejarah kejayaan pada masa kerajaan Sriwijaya (683-1030 M) sebagai kerajaan maritim yang disegani di Asia Tenggara. Sedangkan puncak kejayaan maritim nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1478). Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan nusantara. Pengaruhnya bahkan sampai ke negara-negara asing seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, China. Pada masa tersebut, kekuasaan kerajaan-kerajaan di Indonesia sangat luas mencapai wilayah Asia Pasifik dan disegani oleh masyarakat internasional. Hal tersebut menjadi ironi di masa sekarang yaitu jumlah Marinir sekitar 17.000 tentara sehingga tidak mencukupi untuk menjaga keamanan dan ketahanan nasional di pulau-pulau Indonesia yang berjumlah 17.504. Apabila kekuatan Marinir disebar keseluruh pulau di Indonesia maka satu marinir satu pulau.
Indonesia yang merupakan Negara Kepulauan yang diperjuangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dari sejak Deklarasi Juanda 1957 sampai diakuinya konsepsi tersebut oleh dunia internasional dalam Konvensi Hukum Laut 1982 adalah sebenarnya suatu kebanggaan yang luar biasa bagi bangsa dan Negara Indonesia. Dibalik hal tersbut tersimpan tanggung jawab yang besar dalam memanfaatkan perairan Indonesia dan kekayaan sumber daya alam di dalamnya dengan seoptimal mungkin bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
            Kewajiban Indonesia sebagai negara kepulauan, selain yang menyangkut dengan hak-hak negara lain, yang terpenting adalah kewajiban melaksanakan kedaulatan NKRI di perairan kepulauan, yaitu kewajiban memanfaatkan sumber daya alam hayati dan nonhayati di perairan kepulauan serta melaksanakan penegakan hukumnya.
Wilayah maritim di Indonesia memiliki posisi strategis untuk mengembangkan sektor industri yang meliputi pantai dan perairan. Sektor perikanan yang meliputi perikanan laut, budidaya dan pengolahan memiliki pendapatan sebesar US$ 47 miliar per tahun. Sedangkan dari sektor pariwisata bahari mencapai US$ 29 miliar per tahun. Sektor energi terbarukan yang meliputi energi arus laut, pasang surut, gelombang, biofuel alga, panas laut memiliki potensi sebesar US$ 80 miliar per tahun. Sementara keanekaragaman hayati laut Indonesia memiliki pontensi pengembangan industri bioteknologi bahan pangan, obat-obatan, kosmetika dan bioremediasi, yang sering disebut Biofarmasetika laut memiliki pendapatan sebesar US$ 330 miliar per tahun. Sektor transportasi laut ada potensi US$ 90 miliar per tahun. Wilayah maritim Indonesia menyumbang 70% dari produksi minyak dan gas bumi berasal dari pesisir, dengan 40 dari 60 cekungan potensial mengandung migas terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir dan hanya 6 di daratan yang menghasilkan pendapatan Sektor minyak bumi dan gasoffshore senilai US$ 68 miliar. Selain itu, hasil seabed mineral mencapai US$ 256 miliar per tahun, sektor industri dan jasa maritim mencapai US$ 72 miliar per tahun dan garam mencapai US$ 28 miliar per tahun (Sudirman Saad dalam Berita Satu.com).
            Potensi pengelolaan wilayah laut di Indsonesia masih sangat besar, terlebih di dukung dengan wilayah laut yang cukup luas berdasarkan hukum laut internasional. Peranan pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat pesisir untuk mengembangkan sumber daya lokal seperti peningkatan kualitas garam rakyat, budidaya kelautan maupun sektor wisata bahari dapat membuat Bangsa Indonesia unggul dalam sektor kelautan dan pesisir. Selain itu, sikap masyarakat yang peduli terhadap kelestarian lingkungan perairan harus ditingkatkan dan memahami konsep wawasam nusantara sehingga mampu membuka peluang kerja.

Sumber :
anonim, 2008, Evaluasi Kebijakan dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia, Dept. Kelautan dan Perikanan RI
Sudirman Saad, beritasatu.com

Arsana, I Made, Bahan Ajar Pengelolaan Wilayah Pesisir, 23 Pebruari 2015

Jumat, 20 Februari 2015

Perundang-undangan Masyarakat Pesisir


Negara Indonesia merupakan negara kepulauan, dengan 17.504 pulan dan panjang garis pantai 95.181 km. Penduduk Indonesia 60% tinggal di pesisir. Pusat perkembangan ekonomipun berada di wilayah pesisir. Namun, pendidikan dan kesejahteraan penduduk pesisir masih sangat rendah. Sehingga pengelolaan potensi wilayah pesisir masih sangat rendah.


Kewajiban Negara Indonesia seperti yang tertera dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kewajiban tersebut dilakukan dengan penguasaan sumber  daya alam yang dimiliki oleh negara, termasuk Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

            Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berorientasi pada eksplorasi sumber daya pesisir tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya pesisir serta mengabaikan hak masyarakat lokal/adat. Pengelolaan tersebut menunjukankan kurang terintegrasinya prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu dan berbasis masyarakat. Oleh sebab itu, penyusunan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 untuk membangun sinergi antar lembaga Pemerintah pusat maupun daerah terkait pengelolaan wilayah pesisir serta memberikan kepastian dan perlindungan hukum. UU No. 27 tahun 2007 tersebut diharapkan dapat memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha.

            Adanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sangat strategis untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta meningkatkan kesejahteraan Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, pelaksanaan undang-undang tersebut masih belum optimal sehingga diperlukan perubahan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007. Perubahan Undang-Undang tersebut dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014.

               Adapun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yang diubah pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014, yaitu : 
  1. Perubahan ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 17, angka 18, angka 19, angka 23, angka 26, angka 28, angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka 33, angka 38, dan angka 44, dan penambahan angka 18A diantara angka 18 dan angka 19, serta penambahan angka 27A diantara angka 27 dan angka 28.
  2.  Pengubahan ketentuan pasal 14 ayat (1) dan ayat (7)
  3. Perubahan judul BAB V
Bagian Kesatu
Hak Pengusahaan Perairan pesisir
                  Menjadi :
Bagian Kesatu
Izin
  1. Perubahan ketentuan Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, dan 22.
  2. Penambahan pasal 22A, 22B, dan 22C diantara pasal 22 dan 23
  3. Perubahan ketentuan pasal 23.
  4.  Penambahan pasal 26A diantara pasal 26 dan 27.
  5.  Perubahan ketentuan pasal 30, 50, 51, dan 60.
  6. Perubahan ketentuan pasal 71 dan 75
  7. Penambahan pasal 75A diantara pasal 75 dan 76.
  8. Penambahan pasal 78A dan 78B diantara pasal 78 dan 79.
Salah satu point penting yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yaitu tentang pengganti HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir). Dalam Undang-Undang tersebut pada pasal 1 ayat 18 menyatakan bahwa “Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautandan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu”. Pada pasal 20 ayat 1 menjelaskan bahwa hak tersebut dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan.

Sifat HP-3 tersebut dapat disalah gunakan dengan menjual belikan hak tersebut untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Sehingga pemilik hak melalaikan tanggung jawabnya untuk mengelola wilayah pesisir. Pemberian hak tersebut kepada subjek hukum baik individu maupun badan hukum, maka akan terjadi eksploitasi pada wilayah pesisir. Akibatnya, masyarakat adat yang berhak atas pengelolaan wilayah pesisir tersbut akan tergusur. Walaupun dalam Undang-Undang tersebut mengatakan bahwa masyarakat adat dapat memperoleh HP-3. Namun, masyarakat adat tidak dapat dan tidak mampu bersaing dengan badan hukum atau pemilik modal yang lainnya. Sehingga masyarakat pesisir akan kehilangan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.

Pengelolaan wilayah pesisir seharusnya memegang teguh pada prinsip di kuasai oleh negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Penyusunan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 sebagai perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yang salah satunya mengenai penggantian HP-3 menjadi izin lokasi dan izin pengelolaan. Perubahan tersebut diharapkan terjalin kerjasama yang sinergis dari berbagai pihak baik masnyakat, badan hukum dan pemerintah untuk mengelola wilayah pesisir yang berkelanjutan dan terpadu yang digunakan untuk kemakmuran rakyat. J