Pages

Labels

Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, D.I. Yogyakarta, Indonesia
Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 06 Desember 2015

Review Jurnal "Keamanan Maritim Laut Cina Selatan : Tantangan dan Harapan"

REVIEW JURNAL BATAS MARITIM
“Keamanan Maritim Laut Cina Selatan : Tantangan dan Harapan”


Judul    : Keamanan Maritim Laut Cina Selatan : Tantangan dan Harapan
Penulis : Dadang Sobar Wirasuta
Tahun Publikasi : 2013
Sumber :

Jurnal ini membahas mengenai konflik Laut Cina Selatan yang memberikan implikasi munculnya masalah yang berkaitan dengan keamana maritim, kriminalitas terorganisasi lintas negara, bencana alam, kemanan energi, keamanan air, dan ketahanan pangan. Oleh karena itu, perlu kerja sama maritim regional antara ASEAN, Amerika Serikat, Australia, dan Republik Rakyat Cina untuk menjaga keamanan regional di Laut Cina Selatan.
Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang memiliki potensi yang sangat besar. Kawasan ini memiliki aspek strategis yang mempengaruhi langsung maupun tidak langsung terhadap kawasan dan negara lainnya. Secara geografis, Laut Cina Selatan merupakan salah satu jalur perdagangan yang menghubungkan Samudra India dan samudra Pasifik. Wilayah yang strategis dan potensi sumber daya alam yang besar merupakan faktor atau alasan yang menyebabkan Laut Cina Selatan menjadi sengketa.
Wilayah Laut Cina Selatan terdiri dari beberapa pulau kecil yang tersebar luas. Pulau yang banyak terjadi tumpang tindih klaim beberapa negara yaitu pulau Paracel dan Spartly. Saling klaim antar negara yang berbatasan maritim dengan Laut Cina Selatan yaitu Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brune. Pihak yang bersengketa memiliki argumentasi masing-masing untuk memperkuat klaim kepemilikan atas kawasan yang disengketakan menurut versinya masing-masing seperti berikut :
-          Cina beranggapan bahwa Laut Cina Selatan masuk kedalam wilayah kedaulatannya. Cina berpedoman pada latar belakang sejarah kuno yang mengatakan bahwa Kepulauan Spratly dan Paracel ditemukan oleh seorang petualang Cina pada masa Dinasti Song. Oleh karena itu, pemerintah Cina menraik garis klaim yang masuk dalam wilayahnya, termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel. Garis batas tersebut berbentuk ‘U’ yang sering disebut dengan “Nine Doted Line”. Hal tersebut jelas mendapat tantangan dari negara-negara yang juga mengklaim Kepulauan Spratly dan Paracel, seperti Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan, dan Brunei. Dilihat dari segi hukum Internasional, garis klaim cina “ Nine Doted Line” bertentangan dengan ketentuan UNCLOS 1982. Protes terhadap Cina tentang garis batas tersebut tidak hanya datang dari negara yang mengklaim Kepulauan Spratly dan Paracel, seperti Indonesia yang melakukan protes karena garis tersebut masuk dalam wilayah ZEE dan landas kontinen RI di wilayah Kepulauan Natuna.

-          Filipina mengklaim Spartly ketika seorang nelayan Filipina menemukan beberapa pulau disekitar Filipina. Pulau tersebut diberi nama Freedom Land atau pulau Kalayan. Filipina menganggap Pulau Kayalan dan beberapa pulau disekitar wilayah yang tak dimiliki oleh siapapun. Tahun 1978, presiden Filipina mendatangani sebuah dekrit yang berisi pengakuan atas gugusan Kepulauan Kalayan.

-          Vietnam mengklaim kepulauan Spratly dan Paracel berdasarkan sejarah. Pada abad ke-15, masyarakat Vietnam telah melakukan kegiatan ekonomi di kedua pulau tersebut dibawah kekuasaan kaisar Thanh Tong. Selain itu, berdasarkan ensiklopedia kuno berisi tentang pejelasan secara rinci tentang wilayah kedaulatan Vietnam dan pulau Paracel yang disebut Bau Cat Vang (Partai Pasir Emas) dan juga menjelaskan letaknya Pulau Paracel secara lebih detail dengan kisaran luasnya.  Selain fakta sejarah, dipulau Paracel juga terdapat bangunan yang dibangun oleh kaisar Minh Mang tahun 1833.

-          Klaim Malaysia berdasarkan prinsip landas kontinen. Keseriusan Malaysia dalam mengklaim Kepulauan Spratly ditandai dengan survei perairan di sekitar pulau Amboya Cay. Tanda keseriusan itu untuk mengekplorasi dan mengekploitasi sumber daya alam dikawasan tersebut.

-          Brunei tidak mengklaim pulau-pulau, tetapi mengklaim Lousia Reef salah satu pulau karang di Selatan Spratly sebagai bagian dari landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Aspek letak geografis dan potensi sumber daya alam yang melimpah merupakan faktor penting terjadinya sengketa dan konflik antar negara di sekitar Laut Cina Selatan. Beberapa upaya perdamaian sudah dilakukan, seperti dibuatnya DOC (Declaration On The Conduct of Parties in The SouthChina Sea) antara ASEAN dan Cina pada 4 November 2002 untuk menyelesaikan sengketa tanpa ancaman atau penggunaan senjata. November 2012 dibentuk working group untuk membahas kode etik (Code of Conduct) yang disebut 1st WG ASEAN SOM or COC. Perjanjian bilateral antara Cina dan Vietnam pada oktober 2011 tentang Principles for Resolving Maritime Issues, serta upaya-upaya lain melalui pendekatan bilateral.
Konflik Laut Cina Selatan sangat rumit dan kompleks. Kompleksitas sengketa melibatkan banyak negara dan banyak kepentingan sengketa dari berbagai arah, karena adanya tumpang tindih klaim masing-masing negara dalam satu kawasan yang sama menyulitkan solusi tunggal misalnya pada titik yang sama, Cina-Vietnam-Malaysia, masing-masing negara berhadapan satu sama lain. Sengketa Laut Cina Selatan menjadi suatu masalah, dilema dan tantangan yang berkaitan dengan keamanan perdamaian internasional, keadilan, kebebasan, tatanan, keamanan maritim dan pembangunan progresif dapat di klarifikasikan ke dalam diplomasi militer, keamanan maritim, strategis militer dan sosio ekonomi.
Kawasan maritim dan globalisasi mempunyai korelasi langsung yang dihadapkan pada kelancaran arus barang dan jasa serta didukung oleh arus informasi yang sangat menuntut terjaminnya keamanan maritime.Sebab lebih dari 95 persen arus perdagangan dunia menggunakan domain maritim, sehingga setiap stake holders kepentingan maritim, baik aktor negara maupun non negara dituntut untuk mengembangkan Maritime Domain
Awareness
(MDA) guna menjamin keamanan maritim.
Menghadapi tantangan keamanan maritim di kawasan Asia Pasifik, Indonesia mempunyai posisi utama untuk menjadi penyeimbang diantara kekuatan-kekuatan besar yang bersaing di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Indonesia perlu pembangunan kekuatan maritim dengan membentuk dua armada baru untuk mendukung dua armada yang sudah ada, Armabar dan Armatim. Sebagai ilustrasi, maka armada pertama adalah Armada Selatan yang berkonsentrasi pada pembangunan kemampuan pertahanan laut dan udara sepanjang sesi ZEE Selatan Indonesia di kawasan Samudra Hindia. Sementara Armada kedua adalah Armada Utara yang harus mampu berkonsentrasi pada pembangunan kekuatan laut dan udara sepanjang sesi ZEE Utara yakni kawasan Samudra Pasifik.
Untuk menghadapi tantangan keamanan maritim yang berkembang di Laut Cina Selatan, kerangka ASEAN adalah solusi masalah lewat jalur politik dan diplomatik, karena komitmen ASEAN yaitu ingin menghasilkan pedoman yang mengikat negara yang saling mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan agar semua masalah bisa dikelola dengan baik dan tidak memunculkan masalah yang tidak dikehendaki. Selain itu, sangat diperlukan kerja sama TNI AL dengan Angkatan Laut negara-negara ASEAN, semata-mata demi menciptakan hubungan antar negara tetangga yang stabil dan seimbang untuk menciptakan kondisi yang kondusif di Laut Cina Selatan dan kawasan Asia Pasifik, serta tidak bertujuan membentuk aliansi kekuatan. Untuk kepentingan bersama, Regional Maritime Partnership dan kerjasama multilateral Angkatan Laut ASEAN diharapkan dapat menjadi stabilitas keamanan kawasan Laut Cina Selatan.  

0 komentar:

Posting Komentar