Pages

Labels

Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, D.I. Yogyakarta, Indonesia
Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 20 Februari 2015

Perundang-undangan Masyarakat Pesisir


Negara Indonesia merupakan negara kepulauan, dengan 17.504 pulan dan panjang garis pantai 95.181 km. Penduduk Indonesia 60% tinggal di pesisir. Pusat perkembangan ekonomipun berada di wilayah pesisir. Namun, pendidikan dan kesejahteraan penduduk pesisir masih sangat rendah. Sehingga pengelolaan potensi wilayah pesisir masih sangat rendah.


Kewajiban Negara Indonesia seperti yang tertera dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kewajiban tersebut dilakukan dengan penguasaan sumber  daya alam yang dimiliki oleh negara, termasuk Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

            Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berorientasi pada eksplorasi sumber daya pesisir tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya pesisir serta mengabaikan hak masyarakat lokal/adat. Pengelolaan tersebut menunjukankan kurang terintegrasinya prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu dan berbasis masyarakat. Oleh sebab itu, penyusunan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 untuk membangun sinergi antar lembaga Pemerintah pusat maupun daerah terkait pengelolaan wilayah pesisir serta memberikan kepastian dan perlindungan hukum. UU No. 27 tahun 2007 tersebut diharapkan dapat memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha.

            Adanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sangat strategis untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta meningkatkan kesejahteraan Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, pelaksanaan undang-undang tersebut masih belum optimal sehingga diperlukan perubahan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007. Perubahan Undang-Undang tersebut dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014.

               Adapun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yang diubah pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014, yaitu : 
  1. Perubahan ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 17, angka 18, angka 19, angka 23, angka 26, angka 28, angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka 33, angka 38, dan angka 44, dan penambahan angka 18A diantara angka 18 dan angka 19, serta penambahan angka 27A diantara angka 27 dan angka 28.
  2.  Pengubahan ketentuan pasal 14 ayat (1) dan ayat (7)
  3. Perubahan judul BAB V
Bagian Kesatu
Hak Pengusahaan Perairan pesisir
                  Menjadi :
Bagian Kesatu
Izin
  1. Perubahan ketentuan Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, dan 22.
  2. Penambahan pasal 22A, 22B, dan 22C diantara pasal 22 dan 23
  3. Perubahan ketentuan pasal 23.
  4.  Penambahan pasal 26A diantara pasal 26 dan 27.
  5.  Perubahan ketentuan pasal 30, 50, 51, dan 60.
  6. Perubahan ketentuan pasal 71 dan 75
  7. Penambahan pasal 75A diantara pasal 75 dan 76.
  8. Penambahan pasal 78A dan 78B diantara pasal 78 dan 79.
Salah satu point penting yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yaitu tentang pengganti HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir). Dalam Undang-Undang tersebut pada pasal 1 ayat 18 menyatakan bahwa “Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautandan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu”. Pada pasal 20 ayat 1 menjelaskan bahwa hak tersebut dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan.

Sifat HP-3 tersebut dapat disalah gunakan dengan menjual belikan hak tersebut untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Sehingga pemilik hak melalaikan tanggung jawabnya untuk mengelola wilayah pesisir. Pemberian hak tersebut kepada subjek hukum baik individu maupun badan hukum, maka akan terjadi eksploitasi pada wilayah pesisir. Akibatnya, masyarakat adat yang berhak atas pengelolaan wilayah pesisir tersbut akan tergusur. Walaupun dalam Undang-Undang tersebut mengatakan bahwa masyarakat adat dapat memperoleh HP-3. Namun, masyarakat adat tidak dapat dan tidak mampu bersaing dengan badan hukum atau pemilik modal yang lainnya. Sehingga masyarakat pesisir akan kehilangan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.

Pengelolaan wilayah pesisir seharusnya memegang teguh pada prinsip di kuasai oleh negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Penyusunan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 sebagai perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yang salah satunya mengenai penggantian HP-3 menjadi izin lokasi dan izin pengelolaan. Perubahan tersebut diharapkan terjalin kerjasama yang sinergis dari berbagai pihak baik masnyakat, badan hukum dan pemerintah untuk mengelola wilayah pesisir yang berkelanjutan dan terpadu yang digunakan untuk kemakmuran rakyat. J

0 komentar:

Posting Komentar